Perubahan.
Satu kata yang tak asing lagi untuk didengar, tapi sungguh tak mudah untuk
dilakukan. Banyak hal yang membuat perubahan begitu sulit dilakukan, mulai dari
keberanian untuk mulai berubah hingga konsekuensi dari lingkungan sekitar kita
atas perubahan itu. Namun, apapun itu jika kita yakin perubahan kita ke arah yang
lebih baik, kita harus tetap memperjuangkannya. Berjuang agar perubahan itu
dapat diterima diri sendiri maupun semua yang ada di sekitar kita. Meski
sulit...
Yah,
terkadang memang tak mudah saat kita sampai pada situasi dimana kita harus
berubah karena sesuatu, padahal kita masih nyaman dengan kondisi sebelumnya
atau mungkin saat kita ‘dipaksa’ menerima segala perubahan orang – orang di
sekitar kita tanpa diizinkan untuk mengetahui alasannya, terlebih lagi jika
‘dia’ adalah orang yang penting dalam hidup kita.
Perubahan
tanpa alasan pasti menimbulkan tanya, karena setiap manusia membawa perasaan
yang disebut ‘ingin tahu’ dalam hatinya masing – masing. Itu wajar. Sangat
manusiawi.
Seperti
halnya yang kurasakan saat ini. Waktu semakin berjalan dan perubahannya semakin
tampak. Lebih jelas dan lebih jelas lagi dari yang sebelumnya. Awalnya aku
mencoba memenuhi rasa ‘ingin tahu’ dalam hatiku dengan terus berpikir dan
mencari alasan mengapa dia berubah, tapi semakin aku berpikir dan mencari, aku
semakin bingung dengan banyak kemungkinan yang disuguhkan pikiranku.
Kemungkinan – kemungkinan itu sungguh menguras pikiran dan perasaanku, mengikis
semangatku untuk bertahan menghadapinya, membunuh asaku untuk menemukan jawaban
atas rasa ingin tahuku. Dan itu....sangat menyiksaku.
Semuanya
membuatku semakin lelah dan memilih ‘diam’ untuk menghadapinya. Jika aku dapat
menghindar aku ingin sekali menghindar, namun itu tak mungkin kulakukan.
Keadaan tak mengijinkanku melakukannya. Semua hal yang ada di sekitarku
memaksaku untuk tetap bertahan di sisinya, bertahan membingkai senyum di
wajahku dan menangis dalam hati. Sempat kubelajar untuk mulai menerima semua
ini dan menyesuaikan diri dengan perubahannya terhadapku. Belajar mengikhlaskan
apa yang telah hilang dan menjaga yang masih tersisa. Tapi ternyata hal itu tak
semudah yang kupikirkan. Nyatanya aku masih belum sepenuhnya menerima keadaan
ini. Aku masih tak tahu harus melakukan apa. Aku masih memasang topengku untuk
menutupi kegundahanku. Aku belum bisa ikhlas sepenuh hati.
Aku tahu
bahwa perubahan yang dia pilih adalah haknya. Aku tahu aku tak punya hak untuk
melarangnya. Namun tidak bisakah dia sedikit memberiku ruang untuk belajar
menghadapi perubahannya? Tidak bisakah dia sedikit memberiku waktu untuk
menerima keputusannya? Aku yakin dia tahu apa yang kuarasakan, semua
ketidaknyamanan dalam kediaman dan senyum palsuku, hanya saja dia tak mau memikirkan
semuanya. Itu bukan prioritasnya. Itu tak cukup penting dan berharga untuk dia
pikirkan. Itu hanya akan membuang waktu dan tenaganya. Namun, tidak tahukah dia
bahwa semuanya itu sungguh menyiksaku? Meski aku masih mampu bertahan memilah
rasa sakitku agar tidak berpengaruh dengan prioritasku dalam akademik, tapi
sakit tetaplah sakit, sakit harus disembuhkan, dan kalau pun sakit ini
dibiarkan, ini hanya akan menjadi luka yang sewaktu waktu dapat terbuka
kembali, atau bahkan yang lebih parah lagi dapat menjadi bom waktu yang dapat
meledak entah kapan.
Dari beribu
kemungkinan dalam benakku, sempat tersirat ‘apakah hanya aku yang menganggap
ada masalah diantara kami? Apakah dia menganggap tak terjadi apa – apa?’ Jika
hal itu memang benar, mengapa sikapnya berubah terhadapku? Mengapa dia
menghindariku, berusaha tidak memulai pembicaraan apa pun denganku, meski
sebenarnya banyak hal yang harus dibicarakan. Bahkan saat aku dengan susah
payah mengumpulkan keberanian untuk memulai pembicaraan dengannya, hal itu tak
memberi dampak yang berarti. Tak ada yang membaik setelah itu. Semuanya tetap
seperti sebelumnya, bahkan malah bertambah buruk.
Alasan lain
yang sering memenuhi benakku adalah ‘mungkin dia menjauhiku karena dia ingin
memberikan seluruh waktunya untuk bidadari impiannya, seseorang yang teramat
penting baginnya untuk saat ini’. Namun, haruskah dia menjauhiku dengan alasan
itu? Aku tak pernah melarang dia untuk memberikan yang lebih untuk yang lain
bahkan aku akan mendukungnya. Aku tak pernah memintanya untuk melakukan apa
yang tidak dia suka. Aku juga bukan orang bodoh yang akan bersikap egois
terhadapnya. Aku bukan orang buta yang akan tidak tahu bagaimana mebawa diri.
Aku juga bukan orang tuli yang tak akan merubah sikapku yang membuatnya tidak
nyaman. Aku bisa menjadi seperti yang dia mau jika dia mau bilang bagaimana aku
harus bersikap demi kebaikan semuanya. Tapi mengapa dia harus menyiksaku dalam
kediamannya? Adilkah ini???
Selama ini
aku selalu percaya bahwa Tuhan tahu yang apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
Tuhan tidak akan meberi cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Tuhan akan
memberi apa yang kita butuhkan, meski itu bukan apa yang kita inginkan. Namun,
aku tak bisa membohongi hati dan perasaanku. Luka ini belum sembuh. Luka ini
masih menyiksaku. Meski aku mencoba bersabar, aku hanyalah manusia biasa.
Terkadang luka itu membuatku lelah dan tak tahu harus berbuat apa. Membuatku
menagis tanpa air mata. Mengikis asa yang kupunya.
Lewat
tulisanku ini, aku hanya ingin memohon semoga Tuhan segera memberi jalan keluar
atas persoalanku. Semoga semua lekas membaik. Semoga semuannya segera selesai.
Mohon ya Allah, kabulkanlah doaku. Amin.