Pages

Diberdayakan oleh Blogger.
Brown Bow Tie
RSS

Haruskah Berubah???


Perubahan. Satu kata yang tak asing lagi untuk didengar, tapi sungguh tak mudah untuk dilakukan. Banyak hal yang membuat perubahan begitu sulit dilakukan, mulai dari keberanian untuk mulai berubah hingga konsekuensi dari lingkungan sekitar kita atas perubahan itu. Namun, apapun itu jika kita yakin perubahan kita ke arah yang lebih baik, kita harus tetap memperjuangkannya. Berjuang agar perubahan itu dapat diterima diri sendiri maupun semua yang ada di sekitar kita. Meski sulit...
Yah, terkadang memang tak mudah saat kita sampai pada situasi dimana kita harus berubah karena sesuatu, padahal kita masih nyaman dengan kondisi sebelumnya atau mungkin saat kita ‘dipaksa’ menerima segala perubahan orang – orang di sekitar kita tanpa diizinkan untuk mengetahui alasannya, terlebih lagi jika ‘dia’ adalah orang yang penting dalam hidup kita.
Perubahan tanpa alasan pasti menimbulkan tanya, karena setiap manusia membawa perasaan yang disebut ‘ingin tahu’ dalam hatinya masing – masing. Itu wajar. Sangat manusiawi.
Seperti halnya yang kurasakan saat ini. Waktu semakin berjalan dan perubahannya semakin tampak. Lebih jelas dan lebih jelas lagi dari yang sebelumnya. Awalnya aku mencoba memenuhi rasa ‘ingin tahu’ dalam hatiku dengan terus berpikir dan mencari alasan mengapa dia berubah, tapi semakin aku berpikir dan mencari, aku semakin bingung dengan banyak kemungkinan yang disuguhkan pikiranku. Kemungkinan – kemungkinan itu sungguh menguras pikiran dan perasaanku, mengikis semangatku untuk bertahan menghadapinya, membunuh asaku untuk menemukan jawaban atas rasa ingin tahuku. Dan itu....sangat menyiksaku.
Semuanya membuatku semakin lelah dan memilih ‘diam’ untuk menghadapinya. Jika aku dapat menghindar aku ingin sekali menghindar, namun itu tak mungkin kulakukan. Keadaan tak mengijinkanku melakukannya. Semua hal yang ada di sekitarku memaksaku untuk tetap bertahan di sisinya, bertahan membingkai senyum di wajahku dan menangis dalam hati. Sempat kubelajar untuk mulai menerima semua ini dan menyesuaikan diri dengan perubahannya terhadapku. Belajar mengikhlaskan apa yang telah hilang dan menjaga yang masih tersisa. Tapi ternyata hal itu tak semudah yang kupikirkan. Nyatanya aku masih belum sepenuhnya menerima keadaan ini. Aku masih tak tahu harus melakukan apa. Aku masih memasang topengku untuk menutupi kegundahanku. Aku belum bisa ikhlas sepenuh hati.
Aku tahu bahwa perubahan yang dia pilih adalah haknya. Aku tahu aku tak punya hak untuk melarangnya. Namun tidak bisakah dia sedikit memberiku ruang untuk belajar menghadapi perubahannya? Tidak bisakah dia sedikit memberiku waktu untuk menerima keputusannya? Aku yakin dia tahu apa yang kuarasakan, semua ketidaknyamanan dalam kediaman dan senyum palsuku, hanya saja dia tak mau memikirkan semuanya. Itu bukan prioritasnya. Itu tak cukup penting dan berharga untuk dia pikirkan. Itu hanya akan membuang waktu dan tenaganya. Namun, tidak tahukah dia bahwa semuanya itu sungguh menyiksaku? Meski aku masih mampu bertahan memilah rasa sakitku agar tidak berpengaruh dengan prioritasku dalam akademik, tapi sakit tetaplah sakit, sakit harus disembuhkan, dan kalau pun sakit ini dibiarkan, ini hanya akan menjadi luka yang sewaktu waktu dapat terbuka kembali, atau bahkan yang lebih parah lagi dapat menjadi bom waktu yang dapat meledak entah kapan.
Dari beribu kemungkinan dalam benakku, sempat tersirat ‘apakah hanya aku yang menganggap ada masalah diantara kami? Apakah dia menganggap tak terjadi apa – apa?’ Jika hal itu memang benar, mengapa sikapnya berubah terhadapku? Mengapa dia menghindariku, berusaha tidak memulai pembicaraan apa pun denganku, meski sebenarnya banyak hal yang harus dibicarakan. Bahkan saat aku dengan susah payah mengumpulkan keberanian untuk memulai pembicaraan dengannya, hal itu tak memberi dampak yang berarti. Tak ada yang membaik setelah itu. Semuanya tetap seperti sebelumnya, bahkan malah bertambah buruk.
Alasan lain yang sering memenuhi benakku adalah ‘mungkin dia menjauhiku karena dia ingin memberikan seluruh waktunya untuk bidadari impiannya, seseorang yang teramat penting baginnya untuk saat ini’. Namun, haruskah dia menjauhiku dengan alasan itu? Aku tak pernah melarang dia untuk memberikan yang lebih untuk yang lain bahkan aku akan mendukungnya. Aku tak pernah memintanya untuk melakukan apa yang tidak dia suka. Aku juga bukan orang bodoh yang akan bersikap egois terhadapnya. Aku bukan orang buta yang akan tidak tahu bagaimana mebawa diri. Aku juga bukan orang tuli yang tak akan merubah sikapku yang membuatnya tidak nyaman. Aku bisa menjadi seperti yang dia mau jika dia mau bilang bagaimana aku harus bersikap demi kebaikan semuanya. Tapi mengapa dia harus menyiksaku dalam kediamannya? Adilkah ini???
Selama ini aku selalu percaya bahwa Tuhan tahu yang apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Tuhan tidak akan meberi cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Tuhan akan memberi apa yang kita butuhkan, meski itu bukan apa yang kita inginkan. Namun, aku tak bisa membohongi hati dan perasaanku. Luka ini belum sembuh. Luka ini masih menyiksaku. Meski aku mencoba bersabar, aku hanyalah manusia biasa. Terkadang luka itu membuatku lelah dan tak tahu harus berbuat apa. Membuatku menagis tanpa air mata. Mengikis asa yang kupunya.
Lewat tulisanku ini, aku hanya ingin memohon semoga Tuhan segera memberi jalan keluar atas persoalanku. Semoga semua lekas membaik. Semoga semuannya segera selesai. Mohon ya Allah, kabulkanlah doaku. Amin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 Comments:

Posting Komentar