Sore ini, dingin. Tak ada senja nan hangat yang mengiringi kumandang
adzan Maghrib. Dari entah kapan, hanya butir - butir hujan yang terdengar
membasahi semua hal yang ada di bumi tempatku berpijak. Yah, seperti sebelumnya,
hujan lagi, hujan lagi. Aku sebenarnya suka hujan tapi aku juga benci hujan.
Lho kok gitu? Kok plin plan? Eitss...jangan protes dulu. Dengar dulu
penjelasanku. Hujan itu menenangkan, membuat pikiran yang ruwet jadi sedikit rilex,
membuat hati yang panas jadi agak dingin. Tapi tergantung hujannya juga sih,
kalau hujan deras plus extra petir, aku mah nggak suka. Bener - bener nggak
suka. Bukannya tenang, yang ada malah takut dan kedinginan. Bbrrrrr.....
Aduh...kok jadi bahas hujan sih. Padahal buat cerita kali ini aku nggak
pengen bahas hujan yang itu. Aku mau bahas hujan yang lain (?)
Yah...hujan yang pengen aku ceritakan itu hujan dalam perasaanku*aneh*. Kalau hujan yang ini susah banget redanya. Dibiarin
tambah deras, dipaksa berhenti yang ada malah banjir.
Bingung kan? Sama. Sampai sekarang aku juga belum tahu gimana bikin tuh
matahari yang ngilang dari hati dan perasaanku mau nongol lagi. Kalau dia mau
balik kan, tuh hujan bisa berhenti.
Mungkin kalian yang
baca udah neting aja kalau aku
cengeng. Hem, terserah deh, aku disini cuman mau berbagi aja sama kalian
tentang apa yang aku rasain. Karena semakin aku pendam, semakin aku tahan,
semakin berat rasanya. Kalau tidak memikirkan perasaan ‘mereka’ yang aku
sayang, mungkin udah meledak dari kapan tau. Hmm, sekarang pasti di benak
kalian muncul pertanyaan ‘’emang apa sih
masalahnya?’’ Kalau kalian tanya itu, aku sendiri juga nggak tau sebenarnya
apa masalahku dengan dia. Yah, dia. Siapa? Ada lah...dia pokoknya. Aku juga ngerasa
nggak punya masalah sama dia, tapi tiba – tiba aja dia berubah. Sikapnya
berubah. Menjauh tanpa alasan. Aku sempat berpikir sih, apa cuman aku yang ngerasa
dia menjauh dari aku? Tapi nggak juga, temanku yang ‘peka’ membenarkan tentang
hal itu. Aku sempat dibuat suntuk sih gara – gara masalah ini. Kalau boleh
jujur, suntuk banget. Sampai aku pernah tanya sama diriku sendiri, ‘’emang sebegitu pentingnya ya dia buat aku?”
Jawabannya alih – alih bikin aku tenang, malah bikin tambah suntuk. Logikaku
bilang ‘nggak’ , tapi hatiku lantang
meneriakkan ‘ya’ . Lalu kalau sudah
begini aku harus percaya yang mana???
Memang bukan kali
pertama sih dia ‘marah’ sama aku. Dan setiap itu terjadi, aku selalu melakukan
hal yang sama. Mengalah. Bukan karena aku kalah, tapi lebih kepada membuang
gengsi supaya semua nggak tambah runyam. Aku nggak pernah berpikir siapa yang
salah dan siapa yang benar, karena kalau sampai ada masalah berarti semua yang
bermasalah itu sebenarnya salah, tapi semuanya pasti merasa bahwa dia yang
paling benar. Kalau terus begitu, kapan masalahnya selesai coba? Makanya
mending aku yang mengalah. Aku yang minta maaf. Aku yang mulai bicara. Aku yang
menghangatkan suasana kembali.
Namun, buat kali
ini kenapa rasanya susah ya? Akhir – akhir ini aku sudah mencoba mendekat,
bicara, mengalah, tapi apa yang kudapat? Respon yang masih sama. Dingin. Kadang
aku ingin memakinya, memarahinya, berteriak tentang apa yang aku rasakan di
depannya, tapi apa yang terjadi? Aku malah menangis sendirian. Diam dalam
kesakitanku dan terus berlinang air mata, lagi dan lagi. Memang suatu ketika
aku bisa menemukan obat peredam rasa nyeri, tapi itu tak akan bertahan lama.
Itu juga tak akan merubah apa pun. Sekeras apapun tawaku, sebahagia apapun
senyumku, kalau masalahku belum selesai, aku juga akan sakit lagi.
Sempat terpikir aku
ingin menanyakan semua perubahannya. Tapi, bibir ini kembali bungkam saat aku
mengingat, apa tidak apa – apa aku
bertanya? Nanti kalau dia marah gimana? Kalau masalahnya semakin runyam gimana?
Kalau ini kalau itu, dan akhirnya aku lebih memilih kembali diam dan
menyimpan semuanya sendiri. Sakit memang, tapi setidaknya hanya aku yang
mersakan itu, bukan yang lain.
Sebenarnya akhir –
akhir ini aku sudah mulai tenang sih. Bukan tenang, tapi pasrah. Aku lelah
memikirkan semuanya. Hal itu cukup menguras banyak waktu dan tenagaku. Sekarang
aku lebih memilih berdoa dan berserah kepada Allah dalam setiap kesedihanku. Aku
percaya, Allah tidak akan memberi cobaan
kepada hamba-Nya di luar batas kemampuannya, jadi apa pun masalahku, pasti
ada jalan keluarnya.
Mungkin masalah ini
dan segala perubahannya adalah jalanku untuk belajar menjadi pribadi yang lebih
baik. Belajar menjadi orang yang lebih sabar dan bijaksana. Belajar untuk
menahan emosi dan ego. Belajar untuk lebih bersyukur lagi atas segala hal yang
kita punya sebelum hal itu hilang dari kita. Lewat hal ini, aku juga menjadi
lebih tahu bahwa tidak semua hal yang ingin kita ketahui tentang seseorang
dapat kita tanyakan kepadanya. Terkadang ada hal – hal yang apabila kita memang
ingin tahu, kita harus mencoba mencari maknanya dalam diam, tanpa harus bertanya.
Kita harus belajar lebih peka lagi dan lagi.
Hem, bagaimanapun
sikapnya terhadapku, yang jelas sampai saat ini aku masih mencoba agar aku
dapat tetap bersikap biasa terhadapnya. Aku tidak perlu merubah sikapku. Meski
sulit, tapi itu harus tetap kulakukan karena kalau dia berubah bukan berarti
aku harus ikut berubah juga. Aku tahu perubahannya itu beralasan, hanya saja
Allah belum mengizinkan aku mengetahui alasannya, karena saat ini mungkin ini
yang terbaik. Karena Allah selalu tahu apa yang terbaik untuk kita, selalu tahu
apa yang kita butuhkan, meski kadang itu bukan hal yang kita inginkan.
Harapan dan doaku
masih sama. Semoga dia cepat kembali seperti semula. Semoga kami mendapat jalan
terbaik untuk masalah ini dan semoga esok tak ada lagi tangis dan kesedihan
diantara kami, aku atau dia. Amin.
Oke kawan, terima
kasih telah mendengar ceritaku. Berhubung jariku mulai lelah, aku sudahi dulu
samapai di sini. Sampai jumpa di kisahku selanjutnya. Daa...
0 Comments:
Posting Komentar