Bismillahirrahmanirrahim...
Assalamu'alaikum...
Setelah sekian lama aku berkutat dengan hal - hal baru dalam dunia
perkuliahan, akhirnya aku kembali di titik dimana kurasa menulis adalah cara
termudah untuk menyampaikan apa yang aku rasakan (dan/atau risaukan) dalam
diam. Tulisan ini kubuat dalam kondisi
subjektivitas sedang menguasai pikiran dan perasaanku. Semua hal yang
sebenarnya sederhana tapi rumit, rumit tapi sederhana, entahlah, aku selalu
susah mendefinisikan secara jelas tentang apa yang aku rasa apalagi alasan
kenapa aku harus melakukan hal-hal yang mungkin bagi orang lain tidak perlu
dilakukan.
Sore ini, di salah satu meja tempat makan yang setelah sekian lama baru
kukunjungi (lagi).
Dengan cerita yang berbeda, tempat itu selalu memberikan ruang untuk aku
menyadari banyak hal, menyadari banyak fakta, menyadari banyak kesalahan dan
kebodohanku. Entah ini tamparan (sekali lagi) dari Allah atau peringatan macam
apa yang membuat aku sadar kembali betapa mudahnya aku sebagai hamba-Nya untuk
melupakan perintahnya dan kembali terjerumus dalam larangan-Nya. Ampuni hamba
Ya Allah.
Bicara tentang fakta, setelah kupikir, mungkin fakta sore ini yang
membuatku tadi pagi tidak enak hati untuk pergi ke kampus. Selain karena aku
mungkin ingin istirahat, diluar ujian hari ini, aku seperti merasa akan ada hal
lain yang entah membuatku bahagia dan sedih (atau merasakan keduanya sekaligus)
yang akan kualami hari ini. Ternyata semua terjawab saat, sore ini, dia hampir
membuka semua fakta yang tak pernah aku sangka sebelumnya. Ada banyak hal yang
dia ceritakan, tapi aku hanya ingin mengambil poin - poin penting yang harus
aku INGAT sehingga aku tak lagi merisaukan hal yang tak perlu aku risaukan
sebenarnya, bagaimanpun sulit dan sakitnya perasaanku.
Mungkin yang pertama adalah saat aku dan dia mulai menyadari kalau apa
yang kita lakukan selama ini salah. Salah karena semuanya menyenangkan tetapi
memberikan efek candu yang berbahaya dan merugikan jika terus dilakukan.
Mungkin kami seperti tak melakukan apa pun, karena memang tak ada yang kami
lakukan (jika dilihat secara fisik). Namun, semua, apa yang (entah tanpa
sengaja atau tidak terjadi begitu saja) dapat dilihat dari semua sikap, dan
"hubungan" yang tanpa sengaja terbentuk. Bukan sebuah
"hubungan" legal formal atau transaksional yang memang orang2 ingin
tunjukkan keberadaannya dengan berbagai bumbu komitmen yang kata mereka agar
semua lebih tampak jelas dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Hubungan
ini murni bentuk implikasi dari kenyamanan kami untuk berbagi masalah, cerita,
kebahagiaan, tawa, sedih, dan hal2 lain yang berkaian dengan afeksi perasaan
manusia. Sebenarnya hal ini sangat manusiawi untuk dilakukan satu sama lain,
tapi mungkin untuk sekarang, hal - hal seperti ini bukanlah prioritas, dan
tidak ada pilihan untuk "let it flow" dan "let it go", hanya
tersedia pilihan berhenti atau lanjut (pastinya dengan segala konsekuensi yang
sulit untuk dijelaskan jika kami memilih lanjut dalam kondisi kami saat ini).
Dengan semua pertimbangan logika dan ilmu yang kami miliki (yang sebenarnya
sangat terbatas), setelah mengeliminasi pilihan lanjut, maka kami harus memilih
untuk berhenti. STOP. Semua hal yang "menyenangkan" yang tanpa
sengaja telah mendapat tempat dalam hati dan pikiranku (entah kalau dia) harus
diformat dalam tempo sesingkat-singkatnya. Semua kebiasaan yang entah terbentuk
sejak kapan, harus dihentikan atau bahkan dibuang jauh - jauh dari to do
list keseharianku. Meskipun dahulu aku pernah menghadapi kasus serupa, tapi
entah mengapa untuk kasus yang ini, banyak sekali constraintku untuk mengontrol
perasaanku. Saat aku mencoba sekuat tenaga untuk menjauh, menghindar, meski aku
harus terjatuh dan sakit, sekali lagi dia mengulurkan "bantuan" untuk
bangun dan memperbaiki semuanya, bersama. Saat aku menolak fakta bahwa hatiku
memang sakit, sekali lagi dia menunjukkan bukti kalau aku memang tak cukup kuat
untuk keluar dari semuanya sendirian.
Aku tahu dia melakukan itu karena dia orang baik, dia tidak tega melihatku
sakit atau tersakiti (sengaja ataupun tidak), tetapi...bukankan, berhenti dan
menghilangkan semua hal yang memorable membawa trade off sakit
hati, siapapun yang akan merasakannya lebih dalam, tapi hal itu pasti terjadi.
Semoga anda paham bahwa rasa sakit adalah bagian dari pembelajaran untuk kita
semua :) InsyaAllah Allah yang akan menjaga kita untuk tetap bertahan dan
keluar terbebas dari rasa sakit ini jika kita konsisten melakukan pilihan yang
kita sepakati hanya karena Allah.
Kedua adalah tentang hal yang selama ini tak pernah aku sangka. Saat aku
berpikir semua orang hanya menganggapku sebagai anak kecil sehingga aku
terbiasa menganggap mereka sebagai orang yang hanya mengajakku bermain,
bercerita, bercanda, dan segala hal menyenangkan tanpa beban yang bisa
dilakukan anak - anak, untuk pertama kalinya, dia bilang bahwa anggapan itu
sudah tidak relevan. Dengan segala dalih kemungkinan kelakuanku yang berpotensi
untuk merubah perasaannya terhadapku dan tambahan latar belakang cerita masa
lalu, dia mencoba menyampaikan bahwa you're become a lady, not a girl
anymore, come on...Pernyataan yang kupikir tidak akan disampaikan olehnya,
melihat dia bukan orang yang rela mengakui apa yang sebenarnya sedang dia
rasakan apalagi sesuatu yang berhubungan dengan perasaan pribadi.
Ketiga fakta yang paling aku sesalkan adalah saat aku sadar bahkan saat
semuanya sudah dibuat sehalus mungkin agar meminimalkan rasa sakit hatiku. Aku
masih merasa sakit atas semua yang terjadi. Entah aku yang terlalu rapuh atau
memang perasaan ini yang tak pernah kusadari hingga saat aku harus mengalaminya
(lagi), masih ada rasa sakit yang sama. Mungkin di satu sisi aku bisa memaksan
hatiku untuk mengatasinya, tetapi apapun yang aku lakukan, hatiku adalah masih
hati yang sama. Hati yang tak cukup kuat untuk langsung tegar menerima
semuanya. Aku belum mampu.
Akhirnya, sekali lagi sore ini aku harus kembali berada di salah satu
meja di tempat makan yang sama. Tempat yang selalu menjadi saksi bahwa aku
kembali masuk ke zona itu, zona yang susah dijelaskan.
0 Comments:
Posting Komentar